Kebebasan Pendirian Tempat Ibadah

.

Pembangunan rumah ibadah di Indonesia tidak terlepas dari Peraturan Bersama Menteri (PBM) No.09 tahun 2006 dan No.08 tahun 2006 yang berisi tentang pedoman pelaksanan tugas kepala daerah / wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Dengan adanya peraturan ini, secara logika akan terjadi ketertiban dalam pendirian rumah ibadah. Namun yang terjadi malah sebaliknya, sering kita jumpai beberapa kasus pengrusakan rumah ibadah dengan alasan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penutupan beberapa gereja di beberapa tempat mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan.
Kasus yang sangat mencengangkan baru saja terjadi tepatnya tanggal 16 Januari 2008. Pura Sangkareang di wilayah Lombok Barat dirusak secara sengaja dengan alasan renovasi pura yang telah ada sejak abad 17 M tersebut tidak sesuai dengan PBM. Padahal kenyataannya, PBM adalah ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadah. Kasus ini merupakan bagian kecil dari kurangnya toleransi umat beragama yang terjadi di negeri ini. Masalah yang sangat sentral adalah ”mengapa republik tercinta ini, yang dikenal memiliki masyarakat yang ramah dengan keguyuban serta kebersamaan ini, telah kehilangan keramahan dan keguyubannya, dan empati dalam proses interaksi dengan masyarakat lainnya yang berbeda agama? Mengapa masyarakat Indonesia telah menjadi homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia yang lain)?”. Beberapa kasus yang sering terjadi berkenaan dengan perijinan rumah ibadah ini dapat dijadikan pelajaran bahwa pendirian tempat ibadah sebaiknya lebih memperhatikan pendekatan dan sosialisasi kelingkungan masyarakat sekitar.

Menurut Peraturan Bersama Menteri (PBM) Pasal 14 ayat 2 (a) disebutkan, pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang. Data 90 orang tersebut harus didukung oleh kartu tanda penduduk. Selain itu, pembangunan tempat ibadah di suatu daerah harus mendapat dukungan warga setempat minimal 60 orang dan harus disahkan oleh lurah/kades. Jika melihat dari isi peraturan tersebut akan terjadi banyak benturan dengan kenyataan yang terjadi, terutama pada pendirian rumah ibadah agama Hindu (Pura). Hal ini karena pendirian pura lebih banyak memperhatikan aspek spiritual tempat pendiriannya ketimbang aspek sosial, sebagai contoh Pura Giri Arjuno dan Pura Mandala Giri Semeru yang berlokasi di wilayah Jawa Timur.
Pendekatan sosial yang tepat sebelum pendirian rumah ibadah khususnya pura sangat perlu dilakukan, agar kejadian perusakan pura seperti yang terjadi di Desa Sangkareang, NTB tidak terulang lagi.

I Putu Wisnu Mertha Yoga
Mahasiswa Elektro ITS 2004 selengkapnya

1 komentar:

Unknown mengatakan...

suksma mbok

 

Berita Terbaru

Opini Terbaru

Iklan

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com