Jalan Raya Pos, Jalan Daendels

.


Judul Buku : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Cetakan : Pertama, Oktober 2005
Tebal : 148 halaman

Buku ini adalah buku yang menjadi saksi atas peristiwa pembantaian manusia-manusia pribumi di balik pembangunan Jalan Raya Pos atau yang lebih dikenal dengan Jalan Daendels. Jalan yang membentang 1.000 kilometer sepanjang utara pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan, itu dibangun -tepatnya dilebarkan- di bawah perintah Maarschalk en Gouverneur Generaal, Mr. Herman Willem Daendels. Rampung dan dipergunakan pada 1809.

Menurut Pramoedya Ananta Toer, pembangunan jalan ini merupakan satu dari banyak kisah tragedi kerja paksa yang terjadi sepanjang sejarah di Tanah Hindia. Kisah genosida lain terjadi di Pulau Ban-daneira, 1621, yang dilakukan Jan Pietersz Coen. Korban kerja paksa tak pernah disebutkan karena nama-nama si jelata memang tak pernah bisa dihargai. Yang lain terjadi setelah Perang Jawa, 1825-1830, usai. Setelah perang melelahkan itu, Hindia Belanda bangkrut. Untuk menanggulangi krisis keuangannya, Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan kerja tanam paksa dipelbagai perkebunan dan pembangunan jalan kereta api.

Yang lain lagi, dan ini berlangsung di abad 20, terjadi di Kalimantan Barat yang dilakukan balatentara fasis Jepang. Yang lain lagi, di Sulawesi Selatan, di bawah perintah Kapten Westerling yang menelan korban sekitar 40.000 orang. Lalu pada paruh abad 20, genosida baru lahir, kali ini dilakukan penguasa pribumi sendiri kepada warganya. Sepenuturan Pramoedya, Orde Baru dibangun di atas luka genosida yang menelan ratusan, sejuta atau bahkan satu setengah juta korban-yang anehnya kabar ini disambut oleh kalangan Barat sebagai “berita baik”.

Gagasan membikin Jalan Raya Pos muncul dalam benak Daendels sewaktu ia dalam perjalanan darat pada 29 April 1808 dari Buitenzorg alias Bogor ke Semarang dan Oosthoek alias Jawa Timur. Hanya saja yang dinamai Oosthoek atau Jawa Timur pada waktu itu bukan seperti yang sekarang, tetapi bagian menyempit dari Jawa Timur, yaitu mulai Pasuruan terus sampai Selat Bali.

Dalam pembangunan ini setiap jarak 150. 960 meter harus didirikan tonggak atau paal untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik (kawedanan) dan penduduknya untuk memeliharanya. Ketentuan lebar jalan bila medan memungkinkan, adalah 7,5 meter.
Semua batu untuk peninggian dan pengerasan, harus disetor rakyat dan para petani tanpa imbalan. Kalaupun dengan imbalan, hanya orang-orang atasan tertentu saja yang menerimanya. Atasan tertentu berarti para pembesar putih atau coklat. Bukan rahasia lagi: Jaman Kompeni adalah jaman maraknya korupsi.

Dan lewat buku ini, Pramoedya Ananta Toer menuturkan sisi paling kelam dari genosida pembangunan jalan raya yang beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia republik tersebut. Ribuan mayat tercecer di jalan-jalan.

Dari pemeriksaan yang cukup detail dan bercorak tuturan perjalanan ini, membiak sebuah ingatan yang satire, bahwa kita adalah bangsa kaya tapi lemah. Bangsa yang sejak lama bermental diperintah oleh bangsa-bangsa lain. Bangsa yang penguasanya lebih asyik memupuk-mupuk ambisi berkuasa daripada menggerai kesejahteraan bagi warganya.(win)

0 komentar:

 

Berita Terbaru

Opini Terbaru

Iklan

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com