Mengapa Why?

.

Manusia tidak melakukan sesuatu tanpa alasan. Akan selalu ada alasan untuk setiap tindakan. Keterpaksaan juga dapat dimasukkan sebagai satu alasan.

Anda masih ingat dengan kampanye safety riding? Sekarang hal tersebut masih berlaku, namun gaungnya boleh dikatakan meredup. Seingat saya, dulu banyak sekali cara yang dilakukan pemerintah untuk mendorong masyarakat melakukan itu. Setelah adanya sosialisasi selama beberapa pekan, razia di beberapa sudut kota juga jamak ditemui. Beberapa media turut berperan serta, seperti misalnya memberikan semacam reward bagi pengendara yang kedapatan menaati aturan. Namun kenapa pelaksanaannya tidak bertahan?

Satu fenomena yang saya lihat adalah alasan yang tertanam di masyarakat sedikit melenceng. Boleh jadi karena dulu mereka merasa terpaksa dengan adanya banyak razia. Atau mungkin ada yang hanya merasa termotivasi dengan reward yang ditawarkan. Nah setelah dua hal itu menghilang, seiring dengan berakhirnya kampanye, habis sudah alasan beberapa golongan masyarakat untuk mengikuti aturan ini lebih jauh. Sayang sekali bahwa alasan yang melekat bukan mengapa safety riding ini penting, mengapa ini harus dilakukan, dan mengapa ini dapat membuat, tidak hanya saya, namun juga pengguna jalan lain lebih aman.

Apa budaya masyarakat ini memang campah (menganggap remeh) pada peraturan seperti itu? Anda sadar kalau kita sering mendengar celetukan "nggak usah pake helm, ga ada polisi juga." Lho, bukankah memakai helm itu untuk keselamatan kita sendiri? Kenapa sekarang berubah menjadi agar dilihat oleh polisi? Sekali lagi itu alasan yang tertanam di benak masing-masing.

Dulu, jaman saya masih es-em-a, saya sering tergelitik dan tergelak melihat beberapa reality show di televisi. Mungkin Anda juga pernah menyaksikannya walaupun hanya sepintas lalu. Beberapa reality show yang masih membekas itu antara lain, program yang mengajak kita untuk menolong orang lain, selalu ingat mengucapkan terima kasih pada orang lain, bahkan yang paling gres, agar selalu setia pada pasangan. Ada hadiah yang lumayan besar lho kalau kita "terjebak" melakukan hal yang diharapkan. Acara tersebut pada jamannya sangat segar. Tapi apa? Kita diajak bercermin, melihat bahwa motivasi kita melakukan sesuatu belum sampai pada tahap keikhlasan ataupun kesadaran dari diri sendiri. Pertanyaan mengapa kita masih terjawab oleh adanya dorongan dari pihak lain dan itu sangat dominan. Kadang, di program-program tersebut, muncul wajah-wajah cuek yang dengan cepatnya berubah ketika mereka tahu bahwa ini adalah suatu skenario yang ada rewardnya. Miris?

Menemukan jawaban dari "why" Anda sangat penting. Itu menentukan seberapa besar motivasi Anda atau rekan-rekan Anda melakukan sesuatu yang diharapkan. Bahkan dapat diramalkan seberapa jauh tindakan tersebut tetap dilaksanakan dan apa yang bisa dilakukan untuk memicu hal tersebut.

Jawaban dari "why", yang mana akan menjadi alasan, dapat bermacam-macam. Salah satunya seperti disebutkan diatas, adalah keterpaksaan. Hanya, satu hal yang ingin saya tegaskan, orang pintar, atau istilahnya kaum intelek, sepatutnya melakukan sesuatu dengan kesadaran penuh. Alasan melakukan sesuatu harus berdasar pada pemikiran sendiri, bukan karena itu adalah hal wajib yang mesti ditelan mentah-mentah atau didogmakan tanpa tahu logikanya. Kendati kita tahu itu baik, namun jika alasan kita melakukan itu karena keterpaksaan semata, tanpa tahu apa esensinya, niscaya itu juga tidak akan berdampak maksimal. Apalagi jika penegakannya tidak serius, muncullah yang namanya pelanggaran peraturan atau tidak tercapainya tujuan.

Coba perhatikan, pelatihan yang baik pasti akan memaparkan di awal, mengapa kita memerlukan materi ini. Polling sering menanyakan alasan Anda memilih suatu opsi. Itu agar Anda memiliki gambaran, alasan apa yang tertanam dalam diri Anda dalam melakukan sesuatu. Jadi, selalu tanyakan mengapa saya melakukan ini atau mengapa hal ini perlu dilakukan sebelum Anda memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana menumbuhkan alasan dengan kesadaran diri? Ok, kesadaran memang muncul dari diri sendiri. Anda tidak bisa memaksa diri untuk menyetujui suatu idealisme apabila idealisme itu memang bukan jalan Anda. Tetapi, Anda dapat membuka pikiran, memperluas pandangan, dan menambah wawasan seputar masalah tersebut guna mendapat masukan yang dapat dijadikan pertimbangan kembali. Contoh kecil, isu pemanasan global membuat banyak pihak mengampanyekan perubahan kebiasaan yang merugikan lingkungan. Tanyakan pada diri sendiri, mengapa hal ini penting dan mengapa saya harus melakukan ini? Itu akan memunculkan alasan tersendiri yang sangat mungkin berbeda pada tiap personal, tergantung banyaknya informasi yang didapat. Selanjutnya Anda dapat memutuskan apakah akan ikut arus, berdiam diri, atau menciptakan tren baru. Jangan sampai Anda ikut arus tanpa tahu arti atau bersikap masa bodoh karena tidak tahu informasi. Itu sama sekali bukan sikap kaum intelek.(mei)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

maknyus,
ane pikir ente cuma bisa nyanyi lagu anak-anak, ternyata ada intan dibalik toilet
lanjut bos, tulisan ente betul-betul maknyus

Anusbolduburectum

 

Berita Terbaru

Opini Terbaru

Iklan

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com