Stigma Mahasiswa Hindu Tentang Gender

.

Kesetaraan gender sudah mulai didengung-dengungkan dari dulu. Sejak jamannya R.A. Kartini dan Dewi Sartika yang memperjuangkan bidang pendidikan, sampai pejuang wanita kita di Aceh, Cut Nyak Dien, yang berperang melawan penjajah. Namun dalam implementasinya, sampai sekarang masih terasa banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Contohnya adalah kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar dialami oleh kaum wanita. Alasannya, wanita hanya diam di rumah dan tidak tahu bagaimana sulitnya mencari nafkah sehingga layak dijadikan ”sansak” pelampiasan emosi. Banyak juga hal-hal lain yang mendiskriminasikan wanita dalam berbagai bidang dan segi kehidupan.

Kejadian yang kita alami dalam keseharian sering luput dari perhatian. Seperti tentang wanita yang lagi datang bulan atau 'M' (bukan malas lho ya..), yang dilarang untuk memasuki dan sembahyang di pura. Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, hal ini sepertinya lumrah saja dengan alasan wanita yang lagi 'M' itu kotor. Apakah kita merasa terdiskriminasi dengan adanya aturan ini?

Hasil polling yang diperoleh ternyata menunjukkan bahwa 86.7% responden menganggap hal ini bukan merupakan salah satu bentuk dari diskriminasi dan hanya 8.9% yang menyatakan itu merupakan sebuah diskrimi nasi. Yang menarik disini adalah dari 8.9% yang menyatakan diskriminasi, 75% berasal dari responden pria.

Satu masalah yang menjadi perbincangan lagi adalah soal wanita karir. Ternyata terdapat kecocokan antara responden pria dan wanita. Sebanyak 83.3% dari responden pria nantinya ingin mempunyai istri yang berkarir diluar tugas utama sebagai istri dan ibu rumah tangga. Sedangkan responden wanita lebih ekstrim lagi, yaitu 95,3% nantinya ingin tetap berkarir setelah berumah tangga.

Ini merupakan fenomena yang menarik dimana saat kedua orang tua sibuk berkarir, anak di rumah akan lebih banyak bergaul dengan pembantu dan pengasuh. Apa kata dunia? Mungkin ini juga yang mengilhami sebuah lagu Kungpow Chicken dengan judul Alit Da Baong. Lagu tersebut secara garis besar menceritakan tentang seorang anak yang tumbuh dan dididik oleh pembantu karena orang tuanya terlalu sibuk mencari uang. Akhirnya anak tersebut kurang mendapat kasih sayang seorang ibu. Inikah bentuk emansipasi yang kebablasan? Gung Angga, mahasiswa semester 4 FK, UWKS, berharap mudah-mudahan wanita yang natinya memutuskan berkarir setelah menikah tidak melupakan tugas sebagai seorang ibu dan ”pelayan suami”.

Sebagian besar alasan wanita berkarir karena ingin mempunyai penghasilan sendiri dan tidak terlalu tergantung suami serta ingin mengaplikasikan ilmu yang sudah diperoleh. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Prima Diahtika, cewek kelahiran Ubud yang saat ini kuliah di Akuntansi Unair semester 2. Beda halnya dengan Ni Nyoman Hevy S, yang memutuskan hanya menjadi ibu rumah tangga setelah menikah dengan alasan untuk menghindari kecemburuan antara suami istri. Sepertinya cewek yang kuliah di Farmasi Ubaya semester 4 ini cowoknya cemburuan ya?

Alasan responden pria yang ingin istrinya tetap berkarir setelah menikah ternyata bukan semata karena masalah ekonomi. Pengem-bangan pola pikir agar sang istri tidak kolot (memiliki wawasan yang luas) dan tidak menyia-nyiakan ilmu yang diperoleh lebih penting. Hal ini tentunya dengan syarat tidak melupakan peran utamanya sebagai istri dan ibu. Itu dikatakan Ida Bagus Krisna Prabawa (Ce-bonk), mahasiswa Teknik Elektro ITS semester 6, menimpali apa yang dikatakan Gung Angga. Hal ini berbeda sekali dengan I Made N yang saat ini kuliah di Psikologi Unair semester 4. Ia mengharapkan peran maksimal istrinya dalam perkembangan sang anak. Tapi Made sepertinya harus berjuang keras untuk itu, karena sebagian besar wanita ingin tetap berkarir setelah menikah. Kerja keras kayaknya ne De!!

Aspek berikutnya yang menjadi perhatian adalah tentang seorang perempuan yang menjadi pemimpin di organisasi berbasis Hindu.

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar (93.3%) responden setuju jika seorang wanita menjadi pemimpin di suatu organisasi yang berbasis Hindu. Ini juga didukung kondisi di lapangan dimana dua organi sasi mahasiswa Hindu intra kampus di Surabaya diketuai oleh seorang wanita. Ida Ayu Agung Paramitaswari, yang akrab dipanggil Misae, di Unair dan IGA Komang Kurniati W di Stiesia. Semoga kedepannya kedua srikandi ini dapat memberi suasana serta nuansa yang berbeda di organisasi yang dipimpinnya dan dapat memberikan bukti kepada 4.4% responden yang tidak setuju terhadap seorang pemimpin wanita di dalam organisasi Hindu.
Persoalan yang paling menarik berikutnya adalah pendapat responden tentang cewek menyatakan cinta atau ”nembak” duluan. Gimana ya?

Angka-angka dan plot di atas menunjukkan bahwa 23.8% responden wanita tidak masalah jika wanita nembak lebih dulu. Hal ini didukung oleh 16.7% responden pria. Besarnya responden wanita yang setuju untuk menyatakan cinta atau nembak duluan mungkin karena responden pria banyak yang terlalu malu untuk menyatakan cinta lebih dulu. Seperti yang dikatakan Ngurah Ari yang saat ini kuliah di FK UWKS, “love will find you if you try”. Termasuk bila perlu, cewek “nembak” duluan karena setiap orang mempunyai hak yang sama dalam mengungkapkan perasan terkecuali onta, imbuhnya. Tetapi sebagian besar responden tetap tidak setuju cewek nembak duluan. Ini terlihat dari 83.3% responden pria dan 76.2% responden wanita yang mendukung hal ini.(lis)

0 komentar:

 

Berita Terbaru

Opini Terbaru

Iklan

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com