UU Pornografi, Sejarah Duka Bangsa

.

Sebagian orang mungkin berpendapat kalau judul di atas aneh. Bukannya bagus jika UU yang bertujuan memberangus pornografi disahkan? Mengapa ada yang menolak? Mengapa PHDI dan beberapa ormas Hindu seperti KMHDI dan Peradah ikut mengecam disahkannya RUU ini? Mengapa RUU Pornografi, yang sekarang telah menjadi UU, menjadi sejarah duka bagi bangsa?

Alasan utama penolakan ini berupa kemungkinan terjadinya multitafsir terhadap definisi pornografi. Apa yang menjadi batasan sesuatu dianggap porno atau tidak dan landasan moral siapa yang dipakai? Hal ini menjadi pertanyaan besar yang sangat susah dijawab.

Kalau kita ingin menyamakan arti pornografi di Indonesia tentu sangat susah dan cenderung memaksakan penerapan sudut pandang kalangan tertentu, yang nantinya akan dipakai. Contoh, bagi orang Papua bertelanjang dada bagi pria dan wanita merupakan hal yang wajar dan tidak menimbulkan rangsangan seksual. Namun bagi orang Islam yang menggunakan kerudung dan cadar dalam kesehariannya tentu hal itu dianggap haram. Rangsangan seksual bagi setiap kelompok orang, yang dianggap pornografi dalam UU ini, tentu sangat beragam di penduduk Indonesia.

Ada ribuan nilai-nilai lokal yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang tidak bisa disamakan dalam mendefinisikan pornografi. Sama halnya jika kita mengumpulkan 10 pria yang berasal dari komunitas yang berbeda dan satu orang wanita. Kita meminta para pria memberikan penilaian terhadap kecantikan wanita tersebut dalam range 0-10. Saya berani menjamin nilai yang diberikan akan berbeda. Konotasi tingkat kecantikan seorang wanita bagi pria tentu sangat subjektif sama halnya dengan pornografi bagi seluruh masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikultur.

Pasal 14 undang-undang yang disahkan ini memang menerapkan dispensasi terhadap nilai-nilai seni, budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional. Namun jika kita melihat lebih dalam, sama saja UU ini mendeskripsikan bahwa nilai-nilai adi luhung bangsa tersebut mengandung aspek pornografi, tetapi mendapat dispensasi, tentunya dengan pertimbangan ingin membuat jalan tengah agar meminimalkan pihak-pihak yang kontra terhadap UU ini. Jika boleh berkata sedikit kasar, sungguhlah sangat kurang ajar UU yang baru muncul ini terhadap warisan budaya dari para nenek moyang kita.
Alasan penolakan selanjutnya berangkat dari alasan yang pertama yakni terjadinya kesulitan pembuktian secara pidana terhadap UU ini, banyaknya pasal karet dan potensi timbulnya polisi-polisi moral yang berhak mendeskripsikan pelanggaran. Polisi-polisi moral ini tersirat dalam pasal 21 dan 22 UU Pornografi yang mengatur peran masyarakat dalam melaporkan pelanggaran, melakukan gugatan terhadap pelanggaran tersebut, melakukan sosialisasi UU dan pembinaan terhadap potensi pelanggaran. Hal ini yang menjadi bahaya laten penggunaan nilai rasa tertentu dalam mendiskripsikan pornografi.

Selain masalah aseptabilitas politik dan legislasi terhadap keberagaman aspirasi masyarakat, perlu dilihat pula seberapa jauh kesadaran para perumus undang-undang akan resiko pengesahaan UU yang masih menjadi sebuah polemik di dalam masyarakat kita. Potensi disintegrasi bangsa pun menjadi konsekuensi jika terjadi pemaksaan penerapan UU yang abnormal ini. Suara kontra dalam masyarakat belum usai namun seakan-akan pansus DPR memaksakan untuk sahnya UU ini. Pertanyaan besar muncul, apakah DPR benar-benar mempertimbangkan aspirasi seluruh rakyat atau hanya mendengar aspirasi dari golongan tertentu?

Penolakan keras dari beberapa daerah, seperti Bali, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Papua, dan Nusa Tenggara Timur, tidak menyurutkan aksi para anggota pansus RUU Pornografi untuk meloloskannya menjadi UU. Padahal UU No 10 tahun 2004 menyatakan bahwa prinsip pembuatan undang-undang harus memuat unsur kenusantaraan. Jelas sekali UU ini sudah mengabaikan unsur-unsur keberagaman yang secara konten ditolak dalam beberapa pasal-pasal yang ada di UU Pornografi. Seharusnya para perumus UU Pornografi tidak menganggap remeh reaksi penolakan dari beberapa daerah dan elemen masyarakat lain.

Logika mayoritas-minoritas juga tidak tepat digunakan di sini, dan hal inilah yang terjadi dalam pengesahan UU Pornografi pada sidang paripurna (30/10). Saat itu terjadi walk-out oleh seluruh wakil FPDIP dan FPDS serta 2 anggota FPG dari Bali, yang jika dihitung jumlahnya mencapai 20% dari keseluruhan fraksi yang hadir dan angka itu mewakili sekitar 46 juta jiwa penduduk Indonesia. Sungguh suatu angka yang fantastis. Namun UU, yang sekali lagi saya sebut abnormal ini, tetap disahkan hari itu juga. Sungguh sebuah penyesalan mendalam dari penulis karena asas musyawarah yang sering kita dengungkan sudah tidak digunakan justru oleh para wakil rakyat kita.
Logika mayoritas-minoritas inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa beberapa elemen Hindu menolak keras pengesahan UU Pornografi. Penolakan ini bukan berarti ajaran Hindu melegalkan segala bentuk konsumsi pornografi, melainkan karena nilai rasa yang dipakai dalam UU ini susah ditentukan. Apakah nilai rasa mayoritas yang harus diterapkan? Alasan lainnya adalah ada beberapa nilai-nilai Hindu yang memungkinkan didefinisikan porno seperti Lingga Yoni, Kitab Kamasutra dan Kitab Sarasamuscaya.

Untuk kondisi ini alangkah baiknya pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat sebuah undang-undang, apalagi yang menyangkut privasi seseorang. Ada banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk menekan efek penyebaran hal-hal yang berkaitan dengan pornografi semisal memperketat UU penyiaran karena dari media ini pornografi dapat menyebar luar ke semua kalangan, UU perlindungan wanita dan anak-anak karena mereka yang paling mungkin menjadi objek pelecehan seksual.


I Putu Wisnu Merthayoga
Presidium KMHDI 2008/2010

0 komentar:

 

Berita Terbaru

Opini Terbaru

Iklan

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com