Virginitas, Masihkah Menjadi Hak Milik Pribadi Wanita?

.

Masih terekam jelas bagaiman kisah Lufiana Utfa, seorang gadis berusia 12 tahun yang dinikahi oleh seorang syeikh kaya di Semarang, Jawa Tengah. Maraknya tayangan media cetak dan elektronik mengenai kisah Utfa seakan membawa sebuah pemahaman baru di zaman globalisasi ini, yakni keperawanan wanita bukanlah hak milik pribadinya sendiri.

Perawan. Begitu mendengar satu kata itu yang terbayang adalah wanita. Wanita Indonesia masa kini tentunya berbeda sembilan puluh derajat dengan wanita Indonesia tempo dulu. Perawan, saat ini menjadi barang langka di tengah gempuran arus globalisasi. Pengaruh globalisasi mendorong setiap manusia untuk selalu mengikuti perkembangan zaman, hingga memaksa wanita untuk menggadaikan keperawanannya telah menjadi 'hal' yang tidak tabu lagi dalam lingkup pergaulan sosial masyarakat Indonesia kini.

Apabila hanya segelintir orang yang masih menganggap keperawanan itu penting maka tentunya itu kembali pada masalah nurani. Masalah besar justru terletak pada posisi wanita masa kini, yang dapat dikatakan tidak memiliki hak yang ia sadari sendiri, yaitu hak milik mutlak untuk menjaga kesuciannya. “Kesucianmu ada di tanganmu”, bukan hak milik pria, entah pacar, teman, dan bahkan orang tua wanita itu. Kasusnya sekarang adalah kuasa wanita atas “seonggok daging” berharga dalam tubuhnya ada pada tangan orang lain, yang mana kondisi ini terjadi akibat pergeseran nilai-nilai moral.

Pergeseran nilai-nilai moral ini sendiri erat kaitannya dengan masalah ekonomi dan sosial yang sering terjadi di Indonesia. Masalah sosial ekonomi yang menghimpit memaksa perubahan nilai-nilai moral yang merosot tajam dan menyebabkan pula wanita tidak memiliki hak mutlak atas keperawanannya.

Contoh kecil, seorang wanita terpaksa memberikan keperawanannya pada pria yang berstatus 'pacar' hanya sekadar untuk membuktikan cintanya. Alasan lain mungkin dapat dikatakan karena wanita hanya seorang manusia biasa yang memiliki hasrat seksual layaknya seorang pria. Namun terlepas dari itu semua, seringkali bujuk rayu pria menjadi senjata ampuh untuk menyerahkannya. Contoh lainnya, PSK atau pekerja seks komersial, yang akibat tuntutan ekonomi terpaksa menjual dirinya, hingga pada kasus Syeikh Puji dimana seorang gadis kecil yang merelakan keperawanannya diambil oleh pria tua dengan persetujuan orang tua. Bukankah itu berarti bahwa keperawanannya tidak mutlak miliknya seorang? Hal ini diperparah lagi dengan lahirnya Undang-undang Pornografi, produk teranyar dari para wakil rakyat yang konon mengatas-namakan perlindungan terhadap moral bangsa. Ini berarti, praktek ketidakmampuan wanita untuk memiliki hak milik mutlak atas tubuhnya telah masuk dalam lingkup peraturan negara. Sebuah bukti bahwa, saat ini tubuh wanita dan masalah keperawanan yang termasuk di dalamnya merupakan bagian dan urusan dari negara. Begitulah fenomena yang kini tengah dihadapi, bukan lagi terbatas pada menjaga keperawanan namun hak milik daripada keperawanan itu sendiri.

Munculnya permasalahan demikian disebabkan oleh ulah wanita sendiri, disamping gerusan arus globalisasi. Para wanita cenderung meniru gaya para wanita barat yang menganggap perawan atau tidak bukanlah sesuatu yang penting, sedangkan tidak dapat dipungkiri sebagai bangsa timur keperawanan masih dianggap penting. Semua ini kembali pada nurani setiap individu. Bagi beberapa wanita, perawan merupakan hal yang mahal dan penting untuk menghargai dirinya kelak di depan pria yang akan menjadi suaminya. Di sisi lain ada kelompok wanita yang menganggap perawan bukanlah tolak ukur kebaikan seorang wanita. Seks pranikah merupakan hal yang biasa bagi kelompok ini. Masalah menjaga keperawanan sepenuhnya menyangkut masalah harga diri seseorang, nurani dan pertanggungjawabannya sebagai manusia Hindu kepada Tuhan. Tentunya, hukum karma akan menjadi penentu yang paling adil bagi tiap individu dalam memilih kelompok mana yang mewakilinya.

Apabila dikaitkan dengan ajaran agama Hindu maka tentunya Hindu mengajarkan empat tahapan hidup yang biasa disebut Catur Asrama. Catur Asrama terdiri dari Brahmacari, Grahasta, Wanaprasta dan Bhiksuka. Tindakan apapun yang melatar belakangi, entah untuk tujuan ekonomi maupun sosial, apabila memberikan keperawanan sebelum memasuki masa Grahasta, dalam tahapan catur asrama, merupakan perbuatan dosa. Dalam adat istiadat budaya Bali, dalam upacara pawiwahan atau pernikahan, kedua pengantin menjalani prosesi yang ditujukan pada leluhur dan Tuhan untuk seorang perjaka dan perawan memasuki tahapan Grahasta. Saat upacara pawiwahan, banten-banten sajen digunakan sebagai media untuk mendoakan kedua mempelai, namun apabila ternyata kedua mempelai bukanlah seorang perawan atau perjaka maka ini sudah menjadi bagian dari pertanggungjawaban kepada Tuhan. Singkat kata, sajen dan pawiwahan pun hanya menjadi hiasan formalitas pernikahan, kehilangan fungsinya akibat gerusan perbuatan muda-mudi masa kini yang gila globalisasi.

Sebuah solusi bagi masalah yang berhubungan dengan hati nurani merupakan hal yang sulit karena solusi untuk masalah ini pun menjadi relatif, tergantung dari tiap pribadi akan melihat masalah ini dari sudut pandang seperti apa. Akan tetapi, solusi yang perlu disosialisasikan untuk para wanita Hindu pada khususnya adalah meningkatkan pemahaman akan makna Grahasta dan pawiwahan dalam Hindu untuk lebih menyadari bentuk pertanggungjawaban sebagai wanita dihadapan Tuhan kelak. Selain itu, dalam lingkup pergaulan sosial, wanita harus memiliki prinsip dan keberanian untuk menghormati dirinya sendiri sebagai wanita serta menyadari bahwa sesungguhnya tubuh dan keperawanan adalah satu paket mutlak bagian dari hak asasi wanita itu sendiri.


Dewika Angganingrum
Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Indonesia

0 komentar:

 

Berita Terbaru

Opini Terbaru

Iklan

Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com | Power by blogtemplate4u.com